Sebanyak 13 bangunan bertingkat
di Kota Bandung disinyalir tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau
tidak sesuai izin yang dikeluarkan.
Dari sebanyak itu, bangunan baru
rumah sakit ternama di Kota Bandung diduga tidak memiliki izin, kemudian
beberapa hotel disinyalir menyalahgunakan izin, seperti seharusnya empat
tingkat malah dibangun tujuh tingkat dan semi basement.
Data yang mencantumkan beberapa
lokasi yang diduga melanggar aturan itu, beredar di kalangan wartawan sejak
akhir pekan lalu. Berdasarkan data, kebanyakan bangunan yang melanggar yaitu
hotel.
Setidaknya ada 13 bangunan yang
diduga menyalahi. Dari jumlah tersebut, 6 di antaranya adalah hotel. Sisanya
yaitu pusat perbelanjaan (1), perkantoran (2), rumah sakit serta poliklinik (2)
dan perguruan tinggi (1). Bahkan salah satu dari 13 tersebut bangunan baru
kantor partai politik pun disinyalir tidak ada izinnya.
Akan tetapi, dinas terkait tampak
belum bisa melakukan tindakan riil di lapangan. Masalahnya, saat ini pihak
Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip) Kota Bandung tengah menunggu
Perwal sebagai dasar hukum terkait sanksi.
Perwal itu berkaitan dengan
keputusan pemisahan raperwal sanksi terhadap bangunan yang sudah dibangun
dengan diskresi terhadap bangunan yang belum dibangun.
Berdasarkan data tersebut contoh
bangunan yang dipersoalkan yakni bangunan Pullman Hotel & Convention Hall,
di Jln. Ciponegoro, Kel. Citarum, Kec. Bandung Wetan.
Kondisi di lapangan,
pembangunannya diduga tak sesuai dengan IMB. Dalam IMB, hotel itu harusnya
memiliki 14 lantai dan 1 basement tapi prakteknya dibangun 14 lantai dan 2
basement.
Contoh lainnya yakni pembangunan
gedung Infomedia (PT Telkom) di Jln. Terusan Buahbatu No 33. Bangunannya
selesai dibangun 10 lantai tanpa IMB. Saat ini, di lokasi sudah dilakukan
penyegelan dan sedang disiapkan perintah membongkar.
Kasus lainnya yaitu pembangunan
Hotel Harper di Jln. Dr. Djunjunan. Hotel itu dibangun tidak sesuai IMB. Dalam
IMB, disebutkan harus dibangun 4 lantai. Namun kenyataan, dibangun 2 masa
bangunan, yaitu 9 lantai ditambah semi basement, basement dan lantai 7 plus
semi basement.
Hotel lain yang diinilai
bermasalah yaitu Noor Hotel di Jln. Madura. Hotel itu dibangun tidak sesuai
dengan IMB. Ketinggian dalam IMB harusnya 4 lantai tapi dibangun 6-7 lantai.
Pembangunan hotel itu memiliki IMB dengan No 503.648.I/2749/BPPT Tahun 2013.
Kemudian pembangunan Gedung Fiksi
tahap 2 dan 3 di Jalan Gatot Subroto, juga dinilai bermasalah, sudah 2 kali
dilayangkan panggilan dari Distarcip namun tidak dipenuhi.
Menyikapi hal itu, anggota Komisi
A DPRD Kota Bandung ade fahruroji mengatakan
"Sanksi bisa berbentuk
sesuai perda. Kalau perda nyatakan pembongkaran, berarti harus (dilakukan)
pembongkaran. Tapi kalau pembongkaran itu, sebenarnya sangat merugian bagi
pengusaha. Harus dicari apa yang menyebabkan pelanggaran terjadi," tutur
Ade.
Ade menyoroti penyebab itu.
Menurutnya, harus ditelusuri apa yang kemudian menyebabkan pengusaha melakukan
pelanggaran. Ia mencoba berprasangka baik, bahwa pengusaha ingin investasi di
Kota Bandung dan tidak melakukan pelanggaran sehingga berbuah kerugian.
"Itu kontradiktif, ketika
akan usaha tapi pada sisi lain menempatkan posisi pada resiko pada
pembongkaran. Kita ambil contoh kasus Hotel Planet dulu. Itu 'kan merugikan
bagi pelaku usaha dan membuang energi Pemkot. Dan itu menjadi preseden
buruk," tutur Ade.
Ditanya apakah kemungkinan adanya
beking dalam persoalan itu, Ade mengaku miris jika memang ada. Namun ia
menilai, masalah terjadi karena adanya berbelitnya proses birokrasi.
"Pengurusan izin di Bandung
itu sulit dan lama. Banyak yang mengadu, bahkan sampai ada yang 1-2 tahun
mengurus izin. Nah ketika kesulitan menembus yang resmi, mereka (pengusaha)
kemudian mencoba bantuan oknum-oknum. Tapi biasanya yang membantu ini tidak
lebih baik dan tidak bisa mendorong proses lebih cepat. Jadinya pengusaha rugi
dua kali, lama waktu dan biaya jadi mahal," kata Ade.
Ketua LSM Monitoring Community,
Kandar Karnawan menilai, sikap Pemkot Bandung masih lemah dalam pengawasan dan
pengendalian izin pembangunan. Hal itu terbukti dengan berlanjutnya aktifitas
pembangunan di beberapa titik yang belum memiliki IMB dan melanggar perizinan
jumlah lantai dan basement.
"Yang lebih parah lagi,
berstatus disegel oleh Distarcip tapi kenyataannya dibuka kembali berdasarkan
perintah oknum pejabat," kata pria yang akrab disapa Aan itu.
Melihat kondisi yang terjadi, Aan
pun mengingatkan kepada Wali Kota Bandung agar segera mengevaluasi kinerja di
lingkungan Distarcip. Jika hal itu diabaikan dan kemudian terus menjadi
pembiaran, lanjut Aan, maka dikhawatirkan bisa mengarah pada pelanggaran hukum.
"Jika kami diizinkan dan
disertakan dalam menggali informasi pelanggaran, maka kami akan merasa senang
sekali," kata Aan.
Ia menegaskan, banyaknya
pelanggaran yang terjadi itu sebenarnya bisa langsung ditindak. Dengan kata
lain, tak harus menunggu Perwal. "Penindakan cukup berdasarkan Perda
asalkan Satpol PP berani bertindak berdasarkan perintah Wali Kota,"
tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris
Distarcip Kota Bandung, Tono Rusdiantono membantah data yang beredar merupakan
data dari dinasnya. Meski demikian, ia menyebut pihaknya memang tengah
mengawasi pembangunan-pembangunan yang bermasalah, yang tak sesuai IMB dan
bahkan yang tak memiliki IMB.
Terkait dengan adanya revisi
Perwal tentang sanksi, Tono membenarkan. Perwal itu kini tengah dibahas dan
diupayakan akan rampung sebelum akhir Desember 2015. Perwal itu merupakan
petunjuk teknis dari Perda No 5 tahun 2010 tentang Bangunan Gedung di Kota
Bandung.
"Sebenarnya sekarang tidak
terjadi kekosongan hukum. Kita tetap lakukan pengawasan dan tindakan dan
mengacu pada Perda No 5 tahun 2010," kata Tono saat dikonfirmasi, Minggu
(29/11/2015).
Tindakan yang dilakukan Distarcip
ketika menemukan pelanggaran, kata Tono, yaitu memanggil dan memberi himbauan
kepada pengusaha untuk mengurus IMB. Pengusaha akan diberi waktu selama 21 hari
sebelum tindakan penyegelan dilakukan.
"Kita beri waktu 21 hari.
Kalau memang lewat, kita limpahkan ke Satpol PP dan mereka nanti yang
mengeksekusi (segel). Kalau ada itikad baik, mereka (pengusaha) membuat
perjanjian diatas segel dan pembangunan harus berhenti selama proses pengurusan
IMB," kata Tono.
Menyoal Perwal, Tono menyatakan
pemberian sanksi nantinya akan lebih tertata. Sanksi yang diberikan akan
disesuaikan dengan progres pembangunan. Sedangkan sekarang, sanksi yang
diberikan disamaratakan.
"Nanti mah sanksi itu
proporsional, disesuaikan dengan progres pembangunan. Misalkan dia baru
membangun 10 persen, tapi belum ada IMB. Nah kita sesuaikan sanksinya apa.
Kalau sudah 20 persen, sanksinya apa. Begitu seterusnya. Apalagi kalau bangunan
sudah tinggi tapi belum ada IMB, tentu harus lebih besar sanksinya,"
katanya.
SARAN & SOLUSI
'penyakit lama' yang 'diderita'
Pemkot Bandung tak kunjung terobati. Pelanggaran demi pelanggaran masih tetap
terjadi dan tak ada langkah konkret di lapangan yang bisa memberikan efek jera.
Khusus masalah perizinan, Ade
menilai sistem online yang diterapkan saat ini belum berjalan baik. Sistem yang
terbilang baru itu, belum bisa memangkas problem yang kerap terjadi.
"Saya kira Wali Kota perlu
mengawal lebih dalam terhadap masalah perizinan ini. Lebih dalam artinya
mereview atau menilai kinerja SKPD. Harus dilihat juga berapa sih sebenarnya
pengajuan izin yang masuk dan bagaimana progresnya
Ade merasa miris ketika
masalah-masalah yang terjadi selalu dikembalikan kepada Wali Kota. Padahal
seharusnya, masalah itu bisa diselesaikan oleh SKPD terkait. "Wali Kota
sebenarnya sudah menciptakan sistem dan berikan guiden yang baik dan cepat.
Tapi ternyata tetap masih bermasalah.
Dalam hal pelanggaran IMB, Ade
menegaskan, SKPD terkait haruslah melakukan tindakan tegas. Ketika menemukan
pelanggaran, jika merujuk pada peraturan daerah, maka penegakan sanksi harus
ditegakan.
"Sanksi bisa berbentuk
sesuai perda. Kalau perda nyatakan pembongkaran, berarti harus (dilakukan)
pembongkaran. Tapi kalau pembongkaran itu, sebenarnya sangat merugian bagi
pengusaha. Harus dicari apa yang menyebabkan pelanggaran terjadi.
Nama : Raka Rahmandika
Npm : 28314853
Kelas : 3TB04